Kumpulan Cerpen A.A. Navis
Dua Orang
Sahabat
Seperti sudah
dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan
kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama mendekatkan
arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu
malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam
menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel
hujan. Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama
ditinggikan sampai menutup telinga. Kepala si ke- kar ditutupi oleh baret
abu-abu. Si kurus oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke
dalam saku celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk,
mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara.
Nyala lampu
jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh
kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota
ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan kedua orang
yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Ketika mereka sampai di suatu
simpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?"
"Terserah
kau." jawab si kurus gersang.
Lalu yang
kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga membelok.
Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak melambatkan
langkah. Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama
terangguk pada setiap kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan
pohon-pohon di kiri- kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di
jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran
masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi
nyanyian hewan malam.
"Gila.
Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.
"Orang
bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau
kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
"Mengapa
dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya
ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya
ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.
"Homo
homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si
kurus. "Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya
begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku
pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba
melawan aku." kata si kekar pula.
Kini mereka
melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkah mereka
seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnya sama
menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah. Lalu mereka
melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari
arah kanan. Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak
meng- hindar. "Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan
iringan sumpah serapah.
Si kurus
berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter
darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika.
Tidak bermoral."
Rumah-rumah di
kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya. Listrik belum sampai ke sana.
Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah-
rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit.
Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat
diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit
itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan
nampaknya.
Tiba-tiba
pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.
Cahaya lampu
minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan
menjulur. Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga
memandangnya.
Ketika lelaki
itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil
menggerutu. "Sialan.
Bukan
mereka."
Dan perempuan
lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi.
Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai tidak turun
lagi.
"Kurang
ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku,
tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya.
"Perempuan
pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot. Sama tidak punya
etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.
Kemudian
mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan be- sar yang mereka tempuh membelok
ke kiri. Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal.
Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya. Gemercakan bunyinya di- pijaki.
Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin. Berkepakan
bunyinya menyela desauan angin yang meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit
menghempang di hadapan mereka hilang timbul disela daun pisang itu. La- ngit
yang memberikan kilatan, juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke
sini di malam seperti ini." si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa
aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke sini. Jangkankan malam.
Siang pun belum. Gila benar."
"Orang
kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata,
hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan,
terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga
takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.
Tiba-tiba
keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil dengan hati-hati
mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor musang.
Berdesauan
suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.
"Huss,
musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu
rasa." kata si kekar.
"Bagi
kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam
karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang. Manusia
yang bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia. Kalau kuat,
ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si
kurus lagi.
Keduanya terus
melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari sesuatu.
"Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari
kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu, bangkai
kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang
orang
kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih memperlambat
langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Dan memang
tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang
kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak.
Dulunya padang itu tempat serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi
latihan menembak. Di sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh
pengkhianat. Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga
padang itu menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang.
Orang-orang
tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah ke- jang duluan oleh ketakutan atau
cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan
menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi
oleh dua lelaki. Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan
orang-orang yang dipenggal lehernya atau ditembak mati tanpa peduli perasaan si
kor- ban. Padang itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu.
Bersikap masa bodoh terhadap segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap
sesamanya. Seolah-olah berkata: "Hai manusia, silakan kalian saling
bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga
menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki
yang mendatanginya di malam itu.
"Dia mau
menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus
dalam hatinya.
"Kalau
dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap aku.
Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada
dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku. Kalau aku
dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda, cantik dan kaya
oleh warisanku. Sialan".
Cahaya kilat
memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian
padang itu. Dan sese- kali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu
bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya. Gegap berde- sauan
bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang
bernyala dan haus darah.
Si kekar
mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu. Lalu
katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini saja."
Si kurus pun
menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak
berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah
disimpan.
"Mestinya
dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini.
Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang mulut mengajaknya
berduel malam ini."
Cahaya kilat
memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu. Redup,
seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu:
"Tak
pernah selama ini aku mengangankan datang kemari ber- samamu. Apalagi malam
begini. Nyatanya kita kemari juga.
Kau tahu mengapa?"
Si kurus
mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya
dengan suara yang gersang.
"Maumu
'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat.
Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri. Sekali aku
kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."
Keduanya
terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan
menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.
"Kita
telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh
tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang
dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama
mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihan- nya dan melecehkan si
kurus dengan kalimat sindiran.
"Sekali
hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia
pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita
pacarmu." kata si kekar.
"Kalau
kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak
menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau
lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.
"Kau kira
aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena
aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan
nada yang tegar dia melanjutkan:
"Kalau
kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan."
Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi
penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh di langit
sebelah barat. Angin masih se- bentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung
ranting.
"Kau
tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah
macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di
bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan
diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga.
"Sekarang,
kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun,
dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali
kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara
begini menyelesaikan persoalan kita, hi- langlah harga diriku." kata si
kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang
diharap- kannya. Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap
seperti tadi, berdiri tanpa peduli.
"Betul-betul
sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar.
Si kurus tak
menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.
"Sekali
lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"
"Kau kira
apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah.
Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disam- kutkannya pada
ranting belukar beberapa langkah dari tem- patnya. Sambil melangkah digulungnya
lengan panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan
tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri,
dia berkata lagi, "Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"
"Apa
pedulimu?"
"Baik."
kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia
kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi.
Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. "Apa itu?"
tanyanya.
"Pisau,"
jawab si kurus tegas.
"Oh. Kau
berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya
selangkah lagi.
Tak ada jawab
si kurus.
"Kalau
kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang
curang." kata si kekar.
"Kencing
kau." carut si kurus untuk menghina.
Si kekar
kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......."
Dan angin
bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas
kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.
Lama kemudian
si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor. "Aku orang terdidik.
Terpandang pada mata ma- syarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat
karib- ku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."
"Mestinya
aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si
kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si
kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara."
"Maksudku,
hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan.
Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan suara lirih.
Si kurus
membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak
tergesa-gesa. Juga tidak pelan.
"Tunggu.
Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti
dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku
tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat.
Si kurus tidak
menjawab. Dia terus berjalan tanpa mem- lambatkan langkah. Si kekar terus juga
bicara tentang pe- nyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu.
Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu.
Kau mau,
bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus.
Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si
kekar beberapa saat.
Angin malam
terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu mendesau seketika. Si
kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa
langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat.
Didekapnya
kedua telapak tangannya di bawah dagunya se- perti patung Budha. Lalu katanya
memelas: "Aku minta sung- guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada
siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?
Hancur aku.
Hancur."
Si kurus terus
melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak
kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri,
asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku.
Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia
berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia
kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta
mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian
menjauh dan kian hilang dalam gelap ma- lam. Dia berlari mengejar sambil
memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di
tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling
mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam.
Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus
keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku.
Daliiii."
Si kurus
keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar
lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang
sudah jadi bekas sahabat.
Kayutanam, 30
Agustus 1999.
Posting Komentar